(Obituari) - Maftuh sebagai Diplomat dan Marbot Masjid

id maftuh basyuni

(Obituari) - Maftuh sebagai Diplomat dan Marbot Masjid

Muhammad Maftuh Basyuni (Istimewa)

Berperawakan tinggi, lebih dari 170 cm. Ganteng.

Sorot mata tajam dan jika bicara dengan orang, menyimak dengan baik. Tak pernah memutus lawan bicara, sekalipun dia orang kecil. Namun jika menghadapi lawan bicara yang sudah dikenal dan tak disukai, maka jangan berharap anda akan dapat berceloteh banyak dengannya. Bisa disemprot.

Suaranya meninggi. Ditambah lagi dengan nada bas. Makin menambah wibawanya. Tetapi, jangan pula cepat mengambil kesimpulan orang bersangkutan sedang marah.

Bagi orang yang baru mengenalnya, akan cepat akrab karena jika diajak bicara "ngalor-ngidul" tetap dilayani.Dia juga tergolong orang sabar. Mampu menahan dan mengendalikan emosi, meski dalam waktu cukup lama. Terutama ketika menghadapi perilaku anak buah yang korup dan bekerja merugikan orang banyak.

Pada waktu yang tepat, sang pemilik suara bernada bas tadi akan menentukan sikapnya, apakah anak buah yang korup tadi bersedia memperbaiki diri, ikut dirinya sebagai nahoda dan menyatakan ketersediaan patuh dalam satuan organisasi yang dipimpinnya.

Dialah Muhammad Maftuh Basyuni, pemilik suara tinggi bernada bas itu. Meski sudah berusia di atas 77 tahun, kemampuan untuk bekerja dan bergerak dalam menyelesaikan amanah yang diembannya  masih patut diacungi jempol.

Usai menjabat sebagai menteri agama, jabatan baru dan berat kembali diembannya sebagai  Kepala Satuan Tugas (Satgas) tenaga kerja Indonesia (TKI). Maftuh Basyuni mempunyai misi menyelamatkan TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Tugas itu, dengan kemampuan lobinya yang luar biasa, bisa dijalani dengan baik.

Tak kalah menariknya adalah ketika menjabat sebagai menteri agama, 2004-2009, Maftuh harus bekerja keras. Maklum citra Kementerian Agama saat itu sedang terpuruk, kasus korupsi tengah santer saat itu.

Sudah tentu Maftuh banyak menghadapi perlawanan dari berbagai penjuru, khususnya dari kalangan orang-orang yang sebelumnya banyak menikmati "kue bancakan", namun kemudian tidak bisa berbuat banyak lantaran "kaki tangan" Maftuh, melalui "silent operation" mampu memagari anak buahnya dari perbuatan tercela.

Dalam mengambil keputusan yang sangat penting, mantan Dubes RI untuk Arab Saudi ini selalu meminta pertimbangan dari berbagai pihak. Tidak satu dua orang saja dimintai pendapat. Dari kalangan orang kecil pun, termasuk wartawan dimintai pendapatnya.

Lahirnya penggunaan hak angket atas pelaksanaan ibadah haji pada sidang DPR (17/2/2009) sebagai buntut pemondokan haji jauh dari kawasan Masjidil Haram, didahului oleh keputusan Maftuh dengan memecat staf lokal di kantor urusan teknis haji Saudi Arabia. Keputusan Maftuh ini didasari karena dialah orang yang paling bertanggung jawab dan pantas dihukum. Sementara beberapa orang lainnya mendapat hukuman mutasi.

Hak angket, menurut pimpinan sidang, Muhaimin Iskandar,  saat itu, bukan mengarah ke impeachment. Tapi, tentunya, ingin ada perbaikan penyelengagaran haji. Namun beberapa pekan kemudian, gaung hak angket pun redup begitu saja.

    
Berdompet tak berduit

Siapa bilang Muhammad Maftuh Basyuni orang kaya?.

Ayah dari empat anak kelahiran Rembang, Jawa Tengah, Sabtu, 4 November 1939, itu ternyata orang "bokek". Meski punya dompet, ternyata kosong. Kemana pergi, tak pernah bawa uang.

Lelaki dengan bintang Scorpio ini tidak pernah membawa uang seperti kebanyakan pejabat. Apalagi suka menraktir orang banyak.  Ataupun jalan-jalan ke berbagai tempat untuk menyenangkan anak buah lantaran sudah susah payah membantu menyukseskan pekerjaannya. Maftuh bukanlah tipologi orang seperti itu. Kalaupun ada bantuan atau imbalan dari orang lain yang diterima ketika masih menjabat, uang tersebut tidak diambilnya. Atau dimanfaatkan untuk hal lainnya.

Bantuan sukarela berupa uang dari seseorang selagi ia menjabat dinilai Maftuh sudah masuk wilayah "abu-abu", meski sebagian orang menilai hal itu masih dapat masuk sebagai kategori halal. Lantas, uang tersebut melalui sekretarisnya dikumpulkan dan didistribusikan kepada keluarga tidak mampu untuk membantu: pendidikan, kesehatan dan aksi sosial lainnya.

    
Lantas bagaimana dengan cerita dompet kosong?

Maftuh paling senang berada di kediamannya bersama anggota keluarga. Saat bersama keluarga itu, ia terlihat gembira dapat dikunjungi rekan-rekannya. Terlebih pada saat hari libur, ia dapat saling bertukar cerita mengenai berbagai hal. Termasuk isu aktual, seputar politik dan sosial.

Tentu saja, saat ngobrol, isterinya Ibu Wiwik Basyuni dengan setia mendampingi. Kadang putra-puterinya datang berkunjung, ikut nimbrung ngobrol sambil menikmati berbagai jenis makanan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga Maftuh, bagi siapa pun yang bertandang ke kediamannya, - entah pagi hari atau saat siang - akan diajak makan bersama. Tatkala ia tengah berada di kediamannya di Jalan Setu Cipayung, Jakarta Timur, penulis merasakan betapa harmonisnya suasana di situ.

Di rumahnya yang bercorak Jawa itu, penulis sering menjumpai kediamannya itu digunakan untuk pertemuan bagi anggota keluarga besar. Termasuk para mantan duta besar. Kebetulan, ketika itu, Maftuh tak ingin makan di rumah. Maka, jadilah penulis bersamanya makan di luar.

Di ujung pintu keluar jalan tol lingkar luar Ceger ada warung soto enak, kata Maftuh saat memasuki mobil penulis meninggalkan ke diamannya yang asri. Namun sebelum beranjak dari kediamannya, Maftuh mendekati istrinya di ruang tengah. Mereka bercakap dalam bahasa Arab. Terdengar di telinga penulis, yang jika ditangkap maksudnya minta "fulus".

Maftuh tak pernah mengantongi uang. Kalaupun ada uang di dompet, itu secukupnya saja. Ala kadarnya saja yang kemungkinan untuk membeli bensin di jalan bila tengah bepergian bersama sopir ke tempat kerja, di Gedung Darmais Jalan Kuningan, Masjid Agung At Tin Jakarta Timur, atau ke tempat lainnya.

Sesampainya di warung soto, pengunjung sudah banyak. Maftuh pun "cuek", duduk santai sebagaimana orang lainnya setelah mendapat kursi. Pesanan pun tak lama kemudian datang. Berdua, kami makan di dalam. Sambil makan tentu saja ngobrol "ngalor-ngidul". Perut kenyang, lantas kasir pun dipanggil dan dibayar tak sampai Rp100 ribu. Kami pun bersanjak dari tempat itu.

Beberapa orang yang sebelumnya mencuri perhatian ketika kami makan, berdiri dan memberi hormat. Rupaya, Maftuh masih banyak dikenal orang. Dan, peristiwa serupa pun terjadi tatkala penulis berkunjung ke Solo. Bapak dan Ibu Maftuh saat itu tengah menghadiri peringatan wafatnya Ibu Tien Soeharto pada 2015 lalu.

Pada peringatan wafatnya Ibu Tien yang ke-20 tahun itu, hadir keluarga besar Soeharto. Di antaranya Siti Hardiyanti Hastuti alias Mbak Tutut, Sigit Harjojudanto, Siti Hediyanti Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Tampak pula Ketua Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) Sulastomo, mantan Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawerdaya, mantan Kepala BKKBN Haryono Suyono, Indra Kartasasmita dan sejumlah rekan terdekat keluarga Soeharto.

Usai pembacaan surat Yasin, tahlil, dan doa, anggota keluarga Soeharto menaburkan bunga ke makam kedua orang tuanya. KH Hasyim Muzadi bersama undangan juga menaburkan bunga diiringi doa.

Yang menarik dari perjalanan Maftuh bersama isteri adalah ketika mencari tempat makan. Maftuh tidak tertarik makan di restoran "wah",  apalagi ditawari untuk jenis makanan kebanyakan anak muda kumpul. Ia lebih memilih makan tradisional setempat. Tentu saja, yang dicari gudeg.

Beruntung sopir tahu lokasi warung gudeg dengan cita rasa lokal. Maftuh, ibu dan seluruh personil yang berada satu mobil makan bersama. Nikmat, rasanya. Lebih dari satu jam kami makan bersama. Lantas, ibu pun membayar dengan cepat. Tetapi, ketika hendak beranjak meninggalkan tempat makan itu, para pelayan warung cepat-cepat menghampiri dan minta berfoto bersama. Rupanya, sang pemilik tahu bahwa mereka ke datangan tamu terhormat. Maftuh Basyuni yang masih dikenal orang kecil.

    
Percayakan Isteri

Jika disebut Maftuh orangnya selalu "bokek", bisa jadi itu tepat. Tapi dia sendiri pernah mengaku bisa pula sebagai orang kaya, yang hartanya "menyaingi"  Siti Hartati Tjakra Murdaya (Chow Li Ing). Siti pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia nomor 13 menurut majalah Forbes 2008. Pemimpin Central Cakra Murdaya / Berca Group yang juga Ketua umum Walubi ini terkenal sebagai pengusaha yang berjiwa filantropi.

Kenapa bisa demikian?. Pasalnya Maftuh mengelola uang cukup besar. Setiap tahun, memberikan bantuan kepada masyarakat. Misalnya bantuan kepada panti asuhan. Sampai bulan Maret 2011 saja telah disalurkan dana kepada masyarakat lebih dari Rp6,7 miliar.

"Dana yang dikelola kan besar sekali," ungkap Maftuh sambil bergurau di hadapan penulis.

Selain sebagai Ketua Yayasan Dharmais, Maftuh Basyuni, juga  menjadi pengurus di Masjid At Tin di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Karena itu, kalau masyarakat ingin belajar manajemen masjid maka bergurulah kepada Pak Maftuh. Ia juga membuka diri bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu kepadanya di masjid.

"Saya terbuka bagi masyarakat yang mau mengunjungi saya," uangkapnya di satu kesempatan. Maftuh pun tercatat sebagai pendiri Pondok Pesantren Darul Muzari'in Al Islamiah di daerah Cigeulis, Pandeglang, Provinsi Banten ini.

Jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, Maftuh sangat sederhana.  Diajak makan di warung tegal atau warteg bersedia, makan sate di pinggir jalan oke. Ngobrol dengan pedagang kaki lima pun mau. Masuk masjid ke kampung-kampung sudah dijalani.  Tapi, jangan tanya di dompetnya ada uangnya atau tidak. Pasti nggak ada.

Pasalnya, Maftuh orang yang paling percaya isterinya dalam mengelola uang.

"Saya bisa bebas, tidak dicurigai isteri kemana pun pergi tanpa uang," ujarnya kepada penulis.

Suatu saat ia pun bercerita tentang manajemen uang ini. Sambil menasehati penulis, katanya, suami tidak akan dicurigai isteri jika dompetnya kosong. Lelaki yang dompetnya penuh berisi uang banyak, pasti punya hasrat "macam-macam". "Paling tidak, kepingin punya isteri lebih dari satu," katanya sambil melempar tawa. Penulis pun ikut tertawa lebih keras lagi.

Alhamdulillah, nasihat mantan menteri agama ini hingga kini diikuti penulis. Sekecil apa pun pendapatan dari luar, pasti disetor ke isteri. Jika butuh, tinggal minta. Lain soal, apakah permintaan lebih besar dan setoran kecil. Pokoknya, terbuka soal uang. Dengan cara itu, tak ada yang dicurigai. Insya Allah, dengan cara demikian, menuju keluarga sakinah, mawadah dan warohmah dapat terwujud.

Kini kepulangan Maftuh ke pangkuan Sang Khalik, Pencipta Alam Semesta, sudah sepekan masih sulit dilupakan. Almarhum Maftuh sering kali menyebut dirinya adalah marbot Masjid At-Tin Jakarta. Berbagai perbaikan sudah dilakukan dan beberapa gelintir tangan kotor telah disingkirkan dari pengurusan masjid. Ke depan, ia memang sudah menargetkan, keuangan masjid tak melalu bergantung kepada Mbak Tutut.

Maftuh, demikian ia banyak dipanggil demikian oleh rekan-rekannya - baik dari kalangan tokoh agama, ulama dan para diplomat - dalam bekerja lebih mengedepankan transparan. Sesuai dengan namanya, Maftuh terbuka kepada siapa pun. Termasuk berbagai pernik dalam mengurus Masjid Agung At-Tin.

Ketua Pelaksana Harian Masjid At Tin, almarhum Maftuh Basyuni ini lebih suka disebut sebagai marbot, yaitu sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus keperluan yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan rumah ibadah.

Almarhum Maftuh Basyuni, pernah menjelaskan tentang berdirinya Masjid At Tin, termasuk soal keputusan menggunakan nama At Tin sebagai nama masjid. Sempat ide menggunakan nama Ibu Tin ditolak oleh Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto. Alasannya, Pak Harto tak mau nama istrinya suatu saat dikultuskan. Maka itu, ia menekankan penamaan Masjid At-Tin bukan sekadar diambil dari nama Ibu Tin, melainkan dari nama surat At Tin.

Masjid At-Tin di kawasan TMII dibangun pada April 1997 di atas lahan seluas 70.000 meter persegi dengan kapasitas sekitar 9.000. Pembangunan masjid itu selesai pada 1999 dan dibuka secara umum pada 26 November 1999.   ***4***(E001)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024