DIB menilai program "DIP" tidak jelas

id dokter indonesia bersatu

DIB menilai program "DIP" tidak jelas

Aktivis DIB yang juga anggota ikatan dokter Indonesia (IDI) DIY Dede Candra Permanda (Foto ANTARA/RH Napitupulu/ags/16)

Yogyakarta (Antara) - Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng) menilai program spesialis dokter layanan primer (DLP) yang dilakukan pemerintah, tidak jelas dan sarat akan kepentingan.

"Kami menilai ada yang salah dengan program DLP pemerintah saat ini, karena berdasarkan analisa kami banyak kejanggalan terjadi," kata Aktivis DIB yang juga anggota ikatan dokter Indonesia (IDI) DIY Dede Candra Permanda dalam diskusi Arah Kebijakan DLP, di Yogyakarta, Jumat.

Ia mengatakan, implementasi DLP mengandung banyak kejanggalan, sekaligus diduga menjadi program yang akan merugikan dokter dan juga masyarakat.

Karena itu, katanya, pemerintah harus segera menyikapi keluhan pihaknya untuk membuka permasalahan sebenarnya dari program DLP, sehingga tercipta saling kontrol di antara pemangku kepentingan, pemerhati, akademisi, dan masyarakat.

"Tujuannya, untuk menghasilkan program kegiatan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia dan sesuai peruntukkannya," ucap Dede.

Ia menuturkan, beberapa kejanggalan yang terjadi dalam program DLP tersebut, pertama, program DLP dijadikan program bagi dokter umum yang baru selesai studi, dan apabila hendak menjadi dokter pelayanan primer wajib sekolah lagi untuk mendapatkan gelar dokter spesialis dokter layanan primer (dr. Sp.DLP).

Padahal, katanya lagi, materi dan kurikulumnya sama seperti kurikulum yang diterima dokter umum saat masa perkuliahan strata-1 (S-1), termasuk juga para pengajar mata kuliah di antaranya adalah para dokter umum.

Bahkan calon dosen pengajarnya pun hanya dipersiapkan selama 6 bulan untuk mendidik dr. Sp.DLP.

"Artinya, kurikulum DLP`overlapping` dengan kurikulum dokter umum. Jadi tidak ada kebaruan dalam program DLP itu. Intinya, dalam program DLP itu, dokter umum dianggap tidak bisa apa-apa tanpa program itu. Padahal` sebenarnya masalah utamadari pelayanan kedokteran dilayanan primer saat ini adalah karena tidak tersedianya sarana prasarana kesehatan yang memadai,"ujar dia.

Kedua, lanjut dia, durasi pendidikan DLP yang sangat singkat dibanding durasi pendidikan dokter spesialis, namun DLP akan menjadi dokter spesialis di bidang layanan primer.

Menurut Dede, posisi dokter spesialis layanan primer tidak ada dalam kamus kedokteran, namun, justru Indonesia menggunakannya dalam memberikan pelayanan dokter umum.

"Penggagas program DLP mengklaim sudah melakukan studi banding ke beberapa negara, tapi belum pernah menyampaikan alasan pasti dan logis urgensi program ini. Seperti dipaksakan pemerintah tanpa mau mendengar saran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi yang menaungi profesi dokter," ungkap Dede.
***4*** (KR-RHN)