"DIP" naikkan biaya kedokteran diatas Rp350 juta

id biaya kedokteran

"DIP" naikkan biaya kedokteran diatas Rp350 juta

Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Sukoharjo Arif Budi Satria (Foto ANTARA/RH Napitupulu/ags/16)

Yogyakarta (Antara) - Program dokter layanan primer (DLP) yang digagas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diyakini akan semakin menaikkan biaya pendidikan mahasiswa pada Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia, mencapai angka diatas Rp350 juta.

Hal itu disampaikan oleh Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Sukoharjo Arif Budi Satria dalam diskusi Arah Kebijakan DLP, di Yogyakarta, Jumat.

"Program DLP kami pastikan akan semakin meningkatkan biaya pendidikan kedokteran, bisa mencapai angka jauh diatas Rp350 juta, bahkan bisa dua kali dari angka itu untuk kampus-kampus tertentu. Berlaku untuk seluruh Indonesia, sebab DLP pun berlaku di seluruh Indonesia," ucapnya.

Ia mengungkapkan bahwa dengan mewajibkan setiap dokter umum untuk mengikuti pendidikan dokter layanan primer, maka dipastikan jangka waktu studi seorang dokter akan berkisar diatas 10 tahun, untuk bisa lulus dan bisa bekerja sebagai dokter umum yang mendapat spesialisasi dokter layanan primer.

Akibatnya, kata dia, biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat saat membiayai anaknya sekolah kedokteran, melonjak lebih tinggi nantinya.

Untuk masuk ke fakultas kedokteran saja sudah mengeluarkan uang sekitar Rp350 juta. Maka nantinya akan ditambah lagi biaya untuk pendidikan spesialis layanan primer. Jadi jelas biayanya lebih besar dan waktunya lebih lama.

"Hal ini sangat merugikan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Karena bukannya menurunkan biaya berobat yang ada malah bias jadi biaya berobat akan menjadi lebih tinggi nantinya,"papar dia.

Selain itu, kata Arif, sarana prasarana kesehatan di tingkat primer pun acapkali tidak dipenuhi, dan hasilnya para dokter dipaksa bekerja dalam keterbatasan, tetapi dengan beban kerja yang tidak ringan.

Dan ketika terjadi ledakan kasus penyakit yang semestinya dapat dicegah maka yang disalahkan adalah kemampuan dokternya dan lalu disimpulkan dokter harus sekolah lagi, ungkap Arif yang juga Kordinator Wilayah Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Jawa Tengah.

Ia mengkhawatirkan, isu DLP yang mencuat terkesan hanya pro dan kontra saja, padahal isu tersebut merupakan puncak gunung es dari tumpukan masalah kesehatan di Indonesia.

"Sesungguhnya, permasalahan timbul dari hulu sampai hilir, sejak dari persiapan tenaga kesehatan dimana dokter adalah salah satunya, hingga ke masalah distribusi dan ketersediaan sarana prasarana di tingkat primer yang tidak memadai," terang Arif.

Ia melihat adanya sikap abai dari pemangku kepantingan kesehatan di Indonesia, yang seharusnya menyediakan anggaran untuk kesehatan, namun justru tidak optimal dalam memenuhi tanggung jawabnya.

Pendidikan dokter dibiarkan lepas ke mekanisme pasar, Fakultas Kedokteran menjamur tak terkontrol, biaya pendidikan mencapai ratusan juta, sementara kualitas pendidikan tidak terjaga.

"Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) yang menjadi tulang punggung mencegah naiknya angka kesakitan pun dianak tirikan, anggaran selalu tidak sesuai. Jadi sangat diperlukan tindakan darurat reformasi kesehatan," tegas Arif.
***4*** (KR-RHN)