Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK dalam pemberantasan terorisme

id pemberantasan tororisme

Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK dalam pemberantasan terorisme

Ilustrasi, pasukan Yonif Para Raider 501/Bajra Yudha Kostrad melakukan pembebasan pejabat pemerintah yang menjadi sandera saat simulasi penanggulangan terorisme dalam peringan HUT ke-71 Proklamasi Kemerdekaan RI. (ANTAR FOTO/Fikri Yusuf/foc/16.)

Jakarta (Antara) - Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang berusia dua tahun pada 20 Oktober 2016, tak luput dari ancaman dan serangan terorisme, sebagaimana dialami oleh pemerintahan presiden dan wakil presiden terdahulu.

Dua pekan memasuki tahun 2016, publik dihadapkan pada peristiwa serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta pada Kamis pagi 14 Januari 2016, namun pemerintah, aparat keamanan, dan rakyat terasa berada dalam satu barisan melawan terorisme.

Seruan Presiden Jokowi "Kami Tidak Takut", ampuh bagi publik dalam menyikapi ancaman maupun serangan teroris. Polisi pun menembak mati terduga pelaku teroris, selain ada terduga pelaku yang meledakkan diri hingga tewas.

Bagi pemerintah, peristiwa yang mengundang perhatian dunia internasional apalagi kelompok radikal ISIS juga menyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas insiden itu, mengundang kesadaran baru dan sikap proaktif untuk mengambil langkah-langkah strategis, termasuk menyempurnakan perangkat hukum dalam memerangi terorisme.

Pemerintah bergerak cepat sesuai masing-masing bidang di kementerian setelah peristiwa bom Jalan Thamrin. Kementerian Kominfo, misalnya, memblokir 11 situs berkonten radikal yakni www.bahrunnaim.co, www.dawlaislamiyyah.wordpres.com, www.keabsahankhilafah.blogspot.co.id, www.khilafahdaulahislamiyyah.wordpres.com, www.tapakrimba.tumbler.com, www.thoriquna.wordpres.com, www.tauhidjihad.blogspot.co.id, www.gurobabersatu.blogspot.co.id, www.bushro2.blogspot.co.id, www.mahabbatiloveislam.blogspot.co.id, dan www.azzam.in.

Semua pimpinan lembaga negara sepakat bahwa memang harus ada upaya pencegahan aksi radikal.

Sebulan kemudian setelah serangan teroris itu, Presiden Jokowi membagi pengalaman ketika tampil menjadi pembicara mengenai cara Indonesia dalam menangani dan memberantas aksi terorisme dan ektremisme di hadapan forum KTT AS-ASEAN di Sunnylands, AS, pada 16 Februari lalu.

Pengalaman dan penanganan Indonesia menjadi rujukan bagi banyak negara lain dalam memerangi terorisme. Kombinasi penggunaan "hard power" dan "soft power" dibutuhkan dalam mengatasi terorisme, ekstremisme, dan radikalisme.

Serangan teroris yang meledakkan bom dan baku tembak dengan polisi di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin itu menunjukkan bahwa terorisme masih menghantui Indonesia dan memperpanjang berbagai peristiwa sejenis yang terjadi pada setiap pemerintahan negeri ini.

Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno bahkan menjadi sasaran teroris yang melemparkan sejumlah bom granat di sekolah Perguruan Cikini di Jalan Cikini, Jakarta Pusat 30 November 1957. Ketika itu Soekarno menghadiri acara ulang tahun sekolah tersebut.

Era Orde Baru, meskipun pemerintahan Presiden Soeharto berjalan militeristik dan sentralistik, serangan teroris terjadi beberapa kali seperti pembajakan pesawat Garuda DC-9 pada 28 Maret 1981, peledakan bom di Bank BCA di Pecenongan, Jakarta, 4 Oktober 1984, peledakan bom di Candi Borobudur pada 21 Januari 1985 dan pada tahun yang sama sebuah bus malam diledakkan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Hingga pada era reformasi dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan kini Presiden Joko Widodo, serangan teroris masih terjadi.

Pada era Habibie, setidaknya dua kali terjadi ledakan bom yakni pada 19 April 1999 di Masjid Istiqlal dan pada 20 Oktober 1999 di bundaran HI dan depan Balai Sidang Senayan.

Peledakan bom berlangsung pada era Presiden Abdurrahman Wahid antara lain terjadi di Gereja Kristen Protestan Indonesia pada 28 Mei 2000, di Kedubes Filipina (1 Agustus 2000), Kedubes Malaysia (27 Agustus 2000), dan bom malam Natal 24 Desember 2000 di berbagai daerah di Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Mojokerto, Mataram, Pematangsiantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru.

Pada era Presiden Megawati Sukarnoputri juga terjadi sejumlah ledakan bom, bahkan yang paling dahsyat yakni bom Bali pada 12 Oktober 2002 di dua tempat hiburan malam di kawasan Pantai Kuta yang menewaskan ratusan orang, sebagian warga negara asing. Lalu pada 5 Agustus 2003 ledakan bom juga terjadi di Hotel JW Marriot, Jakarta.

Beberapa kali peristiwa ledakan bom juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti pada 1 Oktober 2005 di beberapa tempat di Bali, bahkan ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, dan bom bunuh diri di gereja di Solo pada 25 September 2011.

                                                                          Kelompok Santoso dan teroris perorangan

Keberhasilan Satgas Operasi Tinombala menembak mati Santoso alias Abu Wardah pada 18 Juli 2016 melegakan berbagai pihak di daerah ini, mulai dari masyarakat, pengusaha sampai pemerintah daerah.

Operasi perburuan gembong teroris yang paling dicari aparat keamanan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlangsung sejak Januari 2015 yang diawali dengan Operasi Camar Maleo sepajang 2015 dan dilanjutkan Operasi Tinombala mulai Januari 2016 sampai saat ini.

Tertembaknya Santoso sangat melegakan masyarakat karena meskipun masih ada belasan pengikut Santoso yang dikejar Satgas Operasi Tinombala saat ini, namun mereka telah melemah dan dilaporkan sudah kehilangan orientasi setelah Santoso mati. Satu per satu mereka pun berhasil dilumpuhkan, ada pula yang menyerahkan diri kepada aparat keamanan.

Selain berkelompok dan terorganisasi, teroris makin nekat melancarkan aksinya secara individu alias perorangan. Nur Rohman, pengendara motor yang meledakkan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Surakarta pada hari terakhir Ramadhan lalu atau 5 Juli lalu, merupakan salah satu contohnya.

Contoh lain akhir-akhir ini merebak di Eropa, seorang warga Jerman keturunan Iran berusia 18 tahun menembak mati sedikitnya sembilan orang pada Jumat (22/7) dengan menembaki pengunjung Olympia, pusat perbelanjaan terbesar di Munchen.

Saat perayaan Hari Nasional di Nice, Prancis, pada 14 Juli lalu, seorang pengemudi Lahouaiej-Bouhlel, 31 tahun asal Tunisia, mengendarai truknya dengan menabrak orang-orang dan kendaraan di depannya sehingga menewaskan 84 orang.

Tentu saja teror itu amat mengerikan sehingga perlu kewaspadaan terhadap individu-individu yang ditengarai terkait dengan kegiatan terorisme.

Kelompok atau organisasi yang diduga teroris kerap diperangi seperti Al-Qaeda dan ISIS, namun secara individu, para simpatisannya, bergerak secara perorangan sehingga bila tak diwaspadai akan menjadi persoalan.

Butuh kemampuan untuk mendeteksi secara maksimal terhadap orang per orang, namun bila dalam mewaspadai tidak berlangsung secara cermat justru akan menimbulkan masalah baru yakni saling mencurigai antarsesama individu.

Pemberangusan kelompok atau organisasi teroris membuat kondisi belum tentu aman dari ancaman teroris, karena sel-sel jaringan kelompok lain boleh jadi sedang menghimpun kekuatan untuk menebar ketakutan publik melalui serangkaian ancaman teror.

Penyelenggaraan "International Meeting for Counter Terrorism" alias Pertemuan Internasional Melawan Terorisme yang hari ini sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali, pada 10 Agustus lalu juga membahas soal ancaman teroris individual.

Pertemuan tersebut diikuti oleh para peserta dan pembicara dari 20 negara seperti Australia, AS, Belgia, Belanda, Prancis, Rusia, Tiongkok, Selandia Baru, Turki, India, Filipina, Inggris, Malaysia, Pakistan, dan Kanada. Selain itu juga turut hadir tiga organisasi internasional yakni ASEAN, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Interpol.

Pada forum itu, pemerintah Indonesia mengajak komunitas internasional mengantisipasi teroris individual yang sebelumnya bergabung dalam ISIS, sebagai tantangan baru dalam menanggulangi terorisme lintas negara.

Menarik apa yang disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto pada forum itu bahwa teroris individual itu merupakan fenomena baru dalam terorisme yang dikenal "lone wolves". Menjadi logis ketika kekuatan ISIS digempur lalu anggota-anggotanya kembali ke negaranya atau negara lain lalu secara individual menebar terorisme sehingga sulit untuk diantisipasi.

Kembalinya anggota ISIS ke negaranya masing-masing menciptakan fenomena baru yang dikenal "lone wolves". Fenomena ini tantangan baru yang perlu kita antisipasi.

Pidato Kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi dalam rangka HUT ke-71 Proklamasi Kemerdekaan RI di depan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Jakarta pada 16 Agustus lalu juga mengingatkan bahwa teroris mencoba menimbulkan kepanikan masyarakat.

"Namun, mereka gagal. Bangsa Indonesia tidak bisa diteror. Modal persatuan kita sebagai sebuah bangsa sangat kuat".

"Masyarakat dunia pun memuji kecepatan, 'respons', dan penanggulangan terorisme yang kita lakukan, Oleh karena itu saya mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terus meneguhkan komitmen bersama mencegah dan melawan aksi terorisme. Mari kita tegaskan bahwa tidak ada tempat untuk terorisme di nusantara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika".
***2***(B009)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024