Akademisi: orang Sunda jangan "bersembunyi"

id jabar, jawa barat

Akademisi: orang Sunda jangan "bersembunyi"

Jawa Barat (ist)

Bogor (ANTARA) - Direktur Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas) Prof HM Didi Turmudzi mengharapkan orang Sunda tidak "bersembunyi" namun meningkatkan partisipasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Serta mempertegas eksistensi dalam berkontribusi bagi masyarakat luas," katanya seperti disampaikan Ahmad Fahir, M.Si, cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU)  di Bogor, Kamis.

Didi Turmudzi pada Minggu (23/10) tampil sebagai pembicara kunci pada kegiatan "Bentang Medang II" dan peluncuran buku "Pasundan dari Masa ke Masa Jilid II" terbitan Balai Seni Sekar Pakuan, di gedung Wanita, Jalan Sudirman, Kota Bogor.

Didi yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan mengatakan orang Sunda memiliki sumbangan besar dalam meletakkan pondasi berbangsa dan bernegara.

Saat Sumpah Pemuda 1926, kata dia, Paguyuban Pasundan menjadi satu-satunya ormas yang melebur bersama pemuda dalam mendorong kebangkitan nasional.

Rektor Unpas, Bandung, masa bakti 2007-2011 itu, menambahkan masyarakat Sunda juga menjadi bagian penting dalam perumusan konsensus nasional yang digalang Bung Karno saat hendak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya Ir Djoeanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir, adalah contoh orang Sunda yang memiliki andil nyata dalam pembangunan nasional.

Sumbangan terbesarnya adalah Deklarasi Djuanda pada 1957, yang menegaskan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan.

Nama Djoeanda diabadikan sebagai nama bandara internasional di Surabaya, Jawa Timur, atas jasanya memperjuangkan pembangunan bandara tersebut sehingga dapat terwujud.

Selain itu, juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, sedangkan di Bogor, namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi.

Begitu juga dengan sosok Otto Iskandardunata (Otista), pahlawan nasional asal Sunda yang dikenal gigih dan masif dalam perjuangan kemerdekaan.

Otto tercatat sebagai Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan periode 1929-1942, anggota BPUPKI dan PPKI. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri PETA, cikal bakal TNI.

"Dalam berbagai fase sejarah nasional orang Sunda selalu berkontribusi nyata bagi Tanah Air," katanya.

Namun, ia prihatin belakangan peran orang Sunda semakin menurun. Orang Sunda seolah "bersembunyi" di tengah riuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Orang Sunda jangan 'bersembunyi', dan harus bangkit,  memberikan kontribusi lebih baik bagi bangsa Indonesia," tegas pria kelahiran Majalengka tersebut.

Pada  kegiatan "Bentang Medang II" dan peluncuran buku itu juga menghadirkan perwakilan Kodam III/Siliwangi dan Pemkot Bogor.

Buku "Pasundan dari Masa ke Masa Jilid II" disusun oleh Hilman Hafidz, sedangkan buku jilid I dengan tema yang sama diluncurkan pada 2014.

Ahmad Fahir, M.Si., selaku panitia "Bentang Medang II" dan peluncuran buku, mengatakan merujuk sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang beribu kota di Kota Bogor sekarang dan era-era sebelumnya, etnis Sunda adalah masyarakat yang maju dan terkemuka di bumi Nusantara.

"Sosok tokoh legendaris seperti Prabu Siliwangi perlu dijadikan sebagai inspirasi untuk mengukuhkan peran nyata orang Sunda di berbagai bidang kehidupan," katanya.

Menurutnya, orang Sunda perlu mengonversi peran-peran besar dan heroik pada masa silam dalam konteks kekinian, berkontribusi lebih nyata dalam bingkai keindonesiaan.

Asep Burhanudin, Ketua Yayasan Nur Al Ghani Bogor menambahkan masyarakat Bogor, Jawa Barat, dan Banten harus bangga dengan bahasa dan atribut budaya Sunda.

"Budaya dan bahasa Sunda harus dijaga. Jangan sampai punah, karena saat ini tantangan yang dihadapi luar biasa berat. Semua harus berperan dalam pelestarian," katanya. ***4***(A035)