Napak tilas Proklamasi (3) - Ahmad Soebardjo siap ditembak mati

id Napak tilas Proklamasi kemerdekaan indonesia

Napak tilas Proklamasi (3) - Ahmad Soebardjo siap ditembak mati

Sejumlah anak mengamati sejumlah barang peninggalan dan arsip foto sejarah di Rumah Pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta, di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Senin (14/8). Rumah sejarah peninggalan keluarga Djiaw Kie Song yang pernah digunakan

Oleh Dewanto Samodro
          
Rumah Bersejarah Rengasdengklok berada sebelah timur laut dari Monumen Kebulatan Tekad, bergeser sekitar 200 meter dari lokasi awalnya.

"Bangunannya masih asli. Hanya digeser saja karena diminta pindah oleh Dinas Pengairan. Lokasi aslinya saat ini kira-kira berada di tengah-tengah Sungai Citarum," kata Lanny Yanto Djoewari, ahli waris pemilik Rumah Bersejarah Rengasdengklok.

Lanny mengatakan Rumah Bersejarah Rengasdengklok harus dipindahkan karena lokasi sebelumnya terancam banjir. Karena itu pemerintah setempat kemudian meminta pemilik rumah untuk memindahkan.

Rumah itu kemudian dibongkar pada 1957 atau 1958 dan material aslinya digunakan untuk membangun rumah dengan bentuk yang sama di lokasi saat ini.

Rumah tersebut milik Djiaw Kie Song. Pada 16 Agustus 1945, rumah tersebut digunakan para pemuda dan anggota Pembela Tanah Air (PETA) sebagai tempat beristirahat bagi Soekarno dan Mohammad Hatta.

Sebelumnya, mereka dibawa dari Jakarta menuju markas PETA di Rengasdengklok untuk dijauhkan dari pengaruh penguasa militer dan pemerintahan Jepang.

Menurut Lanny, yang merupakan cucu menantu dari Djiauw Kie Song, rumah tersebut dipilih karena cukup besar dan berada tidak jauh dari markas PETA.

Menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia, rumah tersebut ramai dikunjungi orang untuk napak tilas. Selain untuk napak tilas, rumah tersebut juga kerap dikunjungi masyarakat umum dan anak-anak sekolah.

"Pada hari-hari lain biasanya ada saja yang datang. Menjelang 17 Agustus semakin banyak yang datang," tutur Lanny.

Lanny mengatakan ada komunitas sepeda yang sudah mengagendakan napak tilas dengan cara bersepeda dari Bekasi hingga Rengasdengklok. Begitu pula dengan anak-anak sekolah yang datang berkunjung karena mendapat tugas dari gurunya.

"Ada beberapa anak sekolah yang datang berkelompok. Sepertinya mereka mendapat tugas dari gurunya supaya mengenal sejarah," tuturnya.

Puncak keramaian napak tilas biasanya terjadi pada 16 Agustus yang berlangsung hingga menjelang pagi hari. Pada 17 Agustus, rumah tersebut relatif sepi pengunjung.

"Kalau 17 Agustus kan biasanya banyak yang ikut upacara baik di kantor atau sekolahnya, maka di sini relatif sepi," katanya.

Rumah tersebut saat ini digunakan sebagai tempat tinggal ahli waris Djiauw Kie Song. Hanya bagian depan saja yang dibuka untuk umum.

Memasuki rumah tersebut dari beranda, langsung terlihat altar dengan foto Djiauw Kie Song di ruang depan. Di ruang itu juga terpasang beberapa foto, lukisan dan sejumlah piagam penghargaan.

Di sebelah kanan-kiri ruangan depan terdapat dua kamar. Lanny mengatakan ruangan di sebelah kanan saat itu disediakan untuk Soekarno dan keluarganya, sedangkan sebelah kiri untuk Hatta.

Di masing-masing kamar terdapat sebuah lemari dan dipan berkelambu dilengkapi dengan kasur dan bantal dengan sprei berwarna putih.

Memasuki kamar tersebut, terbayang Soekarno, bersama Fatmawati dan Guntur, dan Hatta sedang beristirahat setelah menempuh perjalanan dari Jakarta.

                  Menjemput Soekarno-Hatta

Pada 16 Agustus 1945 sore, setelah mendapatkan informasi dari Wikana; Soebardjo, Soediro Mbah dan Yusuf Kunto berangkat menuju Rengasdengklok pada pukul 16.00 untuk menjemput Soekarno-Hatta.

Menurut buku komik "Peristiwa Sekitar Proklamasi" yang diterbitkan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, sesampai di markas PETA di Rengasdengklok, Soebardjo sempat ditolak oleh para anggota PETA.

Apalagi, Soebardjo sempat mengatakan dia datang atas nama Angkatan Laut Jepang. Hampir saja Soebardjo dan Soediro Mbah ditangkap. Soebardjo kemudian mengatakan bahwa dia diutus Wikana cs untuk menjemput Soekarno-Hatta.

Dalam "Saat-Saat Penentuan Rumusan Proklamasi: Kisah Satu Malam yang Menentukan Masa Depan" dalam "Seputar Proklamasi Kemerdekaan" (2015) yang diterbitkan "Penerbit Buku Kompas", P Swantoro menulis Komandan PETA di Rengasdengklok Soebeno sempat bertanya kepada Soebardjo.

"Apa proklamasi dapat dilakukan sebelum tengah malam nanti," tanyanya.

"Tidak mungkin," jawab Soebardjo.

Soebardjo mengatakan saat itu sudah sekitar pukul 20.00. Mereka masih harus kembali ke Jakarta, mengundang para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan mengadakan rapat.

"Bagaimana kalau jam enam besok pagi?" desak Soebeno.

"Saya akan berusaha sekuat tenaga supaya selesai jam enam pagi, tetapi sekitar tengah hari besok pasti sudah beres," kata Soebardjo.

"Kalau tidak, bagaimana?" tanya Soebeno.

"Kalau semua gagal, sayalah yang bertanggung jawab. Tembak matilah saya," seru Soebardjo.

Soebardjo menjamin rapat akan berjalan aman di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Sebagai atasannya di Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang, Soebardjo mengenal pribadi Maeda dan percaya dengannya.

Menurut P Swantoro, Soebardjo merupakan tokoh penting dalam mengatasi peristiwa Rengasdengklok. Soebardjo merupakan "tokoh penghubung" antara Soekarno-Hatta dari golongan tua dengan golongan muda.

Baik golongan tua maupun golongan muda sebenarnya memiliki keinginan yang sama, yaitu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hanya, "perbedaan langgam" dalam meraih proklamasi menyebabkan hubungan kedua golongan itu meruncing.

Tokoh-tokoh dari golongan muda masih "berdarah panas" dan mudah terbakar emosi, sehingga sering kali tidak memperhitungkan akibat dari setiap tindakannya.

Sementara itu, tokoh-tokoh dari golongan tua, karena memiliki pengalaman dan kepahitan dalam perjuangan yang sudah mereka lakukan, menjadi lebih moderat dan penuh perhitungan sebelum bertindak. Mereka sendiri juga mudah terbakar hatinya saat masih muda.

Perpaduan dan kerja sama antara golongan tua dan golongan muda sangat diperlukan. Namun, kerja sama itu sering kali memerlukan peranan "tokoh penghubung" yang dapat diterima kedua belah pihak.

Dalam peristiwa Rengasdengklok, Soebardjo yang mengambil peran. Itu terbukti ketika Soekarno-Hatta akhirnya "dilepaskan" dari Rengasdengklok dan berhasil dibawa kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 malam. (bersambung)    ***2***(D018)